Meretas Kesulitan Menulis bagi Guru
Oleh : Giyoto, S. Pd.*)

Menulis sangat lekat dengan profesi yang penulis geluti saat ini ( guru ). Mengapa demikian ? Karena kegiatan ”menulis” dapat kita lakukan jika kita juga rajin membaca. Melalui membaca cakrawala pengetahuan kita sebagai pendidik tentu akan berkembang luas. Wawasan yang dinamis tentu akan mengup grade kompetensi yang kita miliki. Seperti yang tercantum pada pasal 10 dalam Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 yang mengamanatkan bahwa guru harus memiliki 4 ( empat ) kompetensi guru yaitu kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Melalui tulisan seorang guru dapat mengasah 4 kompetensi sekaligus yaitu kompetensi paedagogik, kepribadian, sosial dan profesional . Pertama, kompetensi paedagogik. Tulisan yang kita buat tentunya dapat memberikan pemahaman kepada orang lain khususnya para siswa. Jika siswa membaca karya gurunya tentu akan timbul rasa bangga dan termotivasi untuk melakukan hal positif yang ditulis atau dicontohkan oleh gurunya. Sehingga tulisan kita hendaknya tulisan yang edukatif dan menyegarkan. Sepanjang pengalaman penulis, ternyata karya anak didik yang polos, lugu dan terkesan lugas sesungguhnya sangat layak dinikmati pembaca. Di antaranya pernah dimuat dalam Buletin Dinas Pendidikan , harian Kedaulatan Rakyat, harian nasional , bahkan majalah anak nasional .
Penulis menyadari sepenuhnya sebuah pepatah ” satu teladan lebih baik dari seribu nasihat”. Stimulus yang penulis berikan dengan mulai menulis di buletin Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta nampaknya memberikan pecut ( baca : cambuk ) yang luar biasa bagi anak didik . Sampai saat ini, penulis terus memotivasi para siswa untuk mulai menulis dan mencoba mengekspresikan segala sesuatu yang ada dalam benak mereka. Mulai dari coret-coretan yang tidak bermakna, laporan peristiwa, puisi, pantun sampai membuat cerita anak sederhana. Pembiasaan tersebut sangat penting dilakukan karena dapat melatih anak untuk mencurahkan ide atau angan-angannya secara jujur dan orisinil tanpa harus menyontek karya orang lain. Kedua, kompetensi sosial. Menulis merupakan salah satu alat komunikasi yang baik meski hanya satu arah. Kehadiran tulisan kita di depan sidang pembaca dapat dijadikan media silaturahmi gagasan, ide atau pendapat kita kepada mereka. Setidaknya para pembaca akan manggut-manggut, mengeryitkan dahi atau bahkan geleng-geleng kepala setelah mambaca tulisan kita. Akan sangat menarik jika tulisan kita menjadi sebuah polemik dan menjadi bahan diskusi para pembaca. Ketiga, kompetensi kepribadian. Tulisan seseorang juga dapat dijadikan wahana mengukur atau mengetahui kepribadiannya. Diksi, alur dan isi tulisan kita dapat mencerminkan kepribadian kita. Sehingga seorang penulis tentunya tidak boleh asal dalam menulis, namun harus dapat dipertanggungjawabkan. Baik kepada publik maupun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena akhir-akhir ini berkembang suatu isu tentang plagiasi atau penjiplakan karya orang lain. Bahkan hal itu dilakukan oleh seorang doktor yang akan meraih gelar profesor. Jika itu benar adanya, maka penulis sangat menyayangkan dan merasa prihatin. Mengapa sesuatu yang nista tersebut dilakukan oleh oknum akademisi yang seharusnya menjadi suri tauladan bagi masyarakat luas ? Apakah sudah sedemikian bobroknya mentalitas dunia pendidikan di negeri ini? Keempat, kompetensi profesional. Kompetensi tersebut mengisyaratkan seorang guru dituntut untuk ” menuliskan apa yang dikerjakan dan mengerjakan apa yang dituliskan” . Tugas profesional guru memang seharusnya demikian. Mulai membuat perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan refleksi seorang guru harus mempunyai dokumen penting tersebut jika ia benar-benar profesional. Selain itu, menulis bagi guru merupakan embrio lahirnya gagasan-gagasan yang akan membangun khasanah dunia pendidikan yang tentunya akan memiliki dampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Dunia pendidikan dapat dibaratkan bagai sebuah ” arung jeram ”. Ada saatnya alur yang kita lalui landai namun pada suatu saat akan melalui hambatan berupa tebing curam. Begitu pula dalam dunia pendidikan. Hambatan, tantangan, gangguan bahkan ancaman akan selalu ada. Dalam kegiatan belajar mengajar, seorang guru hendaknya selalu berusaha menumbuhkan kesadaran menulis produktif bagi anak didik. Karena melalui menulis otak kita tidak akan kosong namun sebaliknya akan selalu diisi oleh hal-hal baru yang mambawa perubahan ke arah yang lebih baik. Para siswa akan terbiasa menuangkan ide atau gagasan mereka melalui tulisan. Permasalahannya bukan dari mana kita memulai namun bagaimana kita memulai?